Oleh : Shelza Putri Danty (Mahasiswa Universitas Andalas – Departemen Ilmu Politik – Asal Kota Dumai, Riau)
Dumai – Bahasa Indonesia sering dikenal sebagai Bahasa persatuan yang mampu merangkul ribuan pulau, ratusan etnis dan berbagai bahasa daerah. Saat masih sekolah hingga ke jenjang peguruan tinggi, kita tidak lepas diajarkan bahwa bahasa Indonesia adalah identitas negara yang menjaga kita tetap satu di tengah banyaknya keberagaman. Tetapi di era globalisasi dan banyak masuknya budaya asing, benarkah bahasa Indonesia masih hidup sebagai persatuan yang nyata atau sudah meredup ?…
Di kalangan mahasiswa misalnya, obrolan di kantin sering kali bercampur bahasa gaul, bahasa daerah dan ada pula yang menggunakan bahasa Inggris dan terkadang justeru terasa lebih ‘tren’. Bahkan di kelas resmi pun Bahasa Indonesia kadang hanya jadi pelengkap slide presentasi, sementara fungsinya sebagai penjaga kesetaraan komunikasi perlahan memudar.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan keterkaitan dan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan komunikasi mencakup kalangan mahasiswa. Pertama, kemajuan teknologi yang telah memberikan banyak akses terhadap berbagai sumber pengetahuan yang hampir dicantumkan dalam bahasa asing terutama bahasa inggris. Hal ini menyebabkan mahasiswa harus terbiasa menggunakan bahasa internasional demi bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan jaringan global yang luas, sehingga bahasa Indonesia sering di anggap kurang memandai dalam segi ilmiah dan teknologi.
Kedua, dalam lingkungan kampus banyaknya mahasiswa yang menggunakan bahasa campur seperti bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa gaul dan bahasa asing, sebagai bentuk komunikasi yang dianggap lebih modern, kekinian dan mudah di pahami. Sebernanya bahasa yang sering digunakan mahasiswa mencerminkan kreativitas bahasa, tetapi secara tidak langsung bisa memudarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, kebiasaan dalam menggunakan bahasa yang bercampur-campur membuat kalangan generasi muda beranggapan bahwa bahasa Indonesia kurang berdaya saing dalam lingkungan perkuliahan sehingga menjadikan bahasa asing sebagai bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada alasan lainnya, kebijakan pemerintah dan jenjang pendidikan termasuk universitas menggunakan bahasa Indonesia hanya sebagai formalitas saja. Contohnya, Bahasa Indonesia digunakan dalam membuat makalah, laporan dan skripsi. Namun, Bahasa Indonesia sangat jarang digunakan dalam diskusi, debat di lingkungan kampus. Akibatnya, penggunaan Bahasa Indonesia sangat jarang digunakan dan fungsinya sebagai bahasa persatuan mulai memudar.
Bahasa Indonesia perlu diterapkan lagi dalam kehidupan, bukan hanya dipertahankan lewat kewajiban negara saja yang sering terasa kaku dan tidak membuat mahasiswa menggunakannya. Pada lingkungan kampus, perlu diciptakannya banyak ruangan untuk diskusi terbuka serta debat antar jurusan yang bisa mendorong mahasiswa terbiasa mengungkapkan pemikiran secara logis, lugas dan bermakna dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan ini bisa dipersiapkan dengan topik yang sangat diperlukan oleh mahasiswa agar mereka merasakan bahwa bahasa Indonesia tidak kalah maju dan moderm dari bahasa lainnya.
Selain itu, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bisa menjadi sarana dalam membuat program-program kreatif, seperti mengadakan debat mahasiswa bahasa Indonesia antar fakultas, lomba essay kebahasaan dan penulisan artikel opini. Langkah-langkah yang dilakukan ini bisa menumbuhkan kebanggan dan sekaligus kemampuan mahasiswa dalam menulis dan berbicara yang baik tetapi mudah dipahami pada era digital saat ini.
Gerakan literasi bahasa juga perlu menyasar platform daring, mengingat generasi muda sekarang sangat lekat dengan media sosial. Mahasiswa dapat diarahkan untuk membuat konten-konten edukasi, ulasan buku atau video opini dengan Bahasa Indonesia yang luwes, atraktif dan mampu bersaing di antara dominasi konten berbahasa asing. Komunitas penulis, klub jurnalis kampus, hingga influencer lokal juga dapat diajak berkolaborasi untuk menciptakan tren positif, yakni menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa gaul baru yang membanggakan, bukan sekadar ‘bahasa upacara’.
Pemerintahpun dalam hal ini memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Perlu ada dukungan yang nyata dalam bentuk fasilitas festival kebahasaan, ajang lomba dan debat mahasiswa, pelatihan menulis kreatif hingga pemberian penghargaan bagi mahasiswa yang konsisten dalam menghasilkan karya inspiratif dalam menggunakan bahasa Indonesia. Program-program beasiswa atau kompetisi juga bisa diperkaya dengan penilaian kualitas karya tulis berbahasa Indonesia agar memacu generasi muda untuk tetap menomorsatukan bahasa nasionalnya.
Jika semuanya bergerak bersama, maka Bahasa Indonesia tidak akan dipandang sekedar slogan di spanduk, baliho atau pidato saja. Sebaliknya, Bahasa Indonesia menjadi ruang eskpresi pemikiran antar daerah, antar budaya dan antar status sosial sehingga mampu menjaga semangat kebangsaan tetap kokoh. Dengan cara ini, Bahasa Indonesia dapat kembali bersinar sebagi identitas bersama bukan hanya sekedar mempersatukan secara simbol, tetapi juga bisa mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 45.
Editor : Dawit