Nampan MBG Bersentuhan dengan Minyak Babi, Bagaimana Status Kesuciannya? Begini Pandangan Guru Kimia dan Guru Agama SMKS Budi Dharma Dumai

Berita Teraktual dan Terpercaya

(Suasana Makan Bergizi Gratis di Kelas SMK Budi Dharma Dumai)

Dumai – Belakangan, mencuat isu tentang proses produksi nampan pelat baja dari MBG yang menggunakan pelumas berbahan minyak babi. Dalam prosesnya, nampan tersebut kemudian dibersihkan dengan zat alkali. Hal ini memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat Muslim: Apakah nampan itu sudah suci menurut syariat, ataukah masih dihukumi najis?

Pandangan Empat Madzhab

Para ulama empat madzhab besar Islam (Syafi‘i, Hanafi, Maliki dan Hanbali) memiliki pandangan yang beragam:

1. Madzhab Syafi‘i

Najis babi dihukumi najis mughallazhah (najis berat). Cara mensucikannya adalah tujuh kali basuhan air, salah satunya dengan tanah. Jika hanya menggunakan alkali tanpa air, maka belum suci.

(Rujukan: Al-Majmu’ 2/597, Mughni al-Muhtaj 1/77).

2. Madzhab Hanafi

Prinsipnya: cukup hilang zat najis (bau, warna, rasa) sudah dianggap suci, tanpa syarat tujuh kali. Jika minyak babi sudah hilang total oleh alkali, nampan dianggap suci.

(Rujukan: Al-Hidayah 1/53, Al-Bahr ar-Ra’iq 1/77).

3. Madzhab Maliki

Mirip Hanafi, tapi lebih longgar: hilangnya najis atau istihalah (perubahan zat) sudah cukup menyucikan. Alkali yang melarutkan minyak babi bisa dihitung sebagai istihalah. Maka nampan suci.

(Rujukan: Mawahib al-Jalil 1/106, Al-Kafi hlm. 37).

4. Madzhab Hanbali

Sama dengan Syafi‘i: najis mughallazhah harus 7 kali air, salah satunya dengan tanah. Jika tidak, maka belum suci.

(Rujukan: Al-Mughni 1/62, Kasyaf al-Qina’ 1/181).

Suara dari Praktisi Pendidikan

Wiwit Sulistyanto, ST., seorang guru agama sekaligus pengajar pengelasan di SMKS Budi Dharma, memberikan pandangannya:

“Dalam Islam, kita diajarkan berhati-hati terhadap najis, terutama najis berat seperti babi. Namun, kita juga diajarkan keseimbangan: jangan sampai kehati-hatian berubah menjadi kesulitan yang berlebihan. Menurut madzhab Syafi‘i yang dominan di Indonesia, nampan itu masih perlu disucikan dengan cara syar‘i. Tetapi, menurut Hanafi dan Maliki, nampan tersebut sudah suci bila najisnya hilang total. Jadi, umat Islam bisa memahami adanya perbedaan pandangan, sambil tetap memilih sikap yang paling aman bagi ketenangan ibadah.”

Penjelasan dari Sisi Kimia

Sementara itu, Ibu Retno S. Pd., guru Kimia di SMKS Budi Dharma, memberikan keterangan dari sudut pandang sains mengenai fungsi alkali dalam proses pembuatan nampan tersebut:

“Alkali pada proses industri logam berfungsi sebagai zat pembersih (cleaning agent) yang mampu melarutkan minyak, lemak dan kotoran dari permukaan logam sebagaimana fungsi sabun ketika mandi, cuci piring dll. Dalam kasus ini, minyak babi yang dipakai sebagai pelumas akan terurai secara kimia ketika terkena alkali. Proses ini tidak hanya menghilangkan lapisan minyak, tetapi juga membuat permukaan baja menjadi lebih bersih dan siap dicetak atau dibentuk. Jadi secara teknis, alkali benar-benar mengangkat dan memutus ikatan lemak babi dari pelat baja atau nampan MBG.”

Dengan penjelasan ini, masyarakat dapat memahami bahwa secara ilmiah, minyak babi memang hilang dan larut setelah dibersihkan dengan alkali. Namun, bagaimana status kesuciannya tetap kembali pada hukum fiqih masing-masing madzhab.

Masukan untuk MUI, BGN dan Pemerintah

Melihat perbedaan pandangan fiqih dan sisi ilmiah yang ada, sangat penting adanya koordinasi antara lembaga terkait:

Majelis Ulama Indonesia (MUI), diharapkan memberikan fatwa atau pedoman resmi tentang status kesucian produk-produk industri yang melibatkan unsur najis, sehingga umat mendapat ketenangan hukum.

Badan Gizi Nasional (BGN), selaku pelaksana teknis MBG (Makan Bergizi Gratis) perlu menegakkan standar halal dalam proses industri MBG, agar tidak terjadi keraguan dalam sertifikasi produk.

Pemerintah, diharapkan hadir sebagai penghubung dan pengawal, memastikan agar pihak industri, ulama dan masyarakat mendapatkan titik temu yang tidak menimbulkan keresahan.

Hal ini sangat penting, terutama bagi para siswa-siswi yang sedang menikmati produk MBG di sekolah maupun rumah dan juga orang tua siswa-siswi, agar mereka tetap merasa aman, nyaman dan tidak terbebani keraguan dalam prosesnya.

Kesimpulan yang Menyejukkan

Dari berbagai pendapat tersebut, masyarakat dapat melihat bahwa Islam itu kaya dengan perbedaan ijtihad ulama. Semua berangkat dari dalil Al-Qur’an, hadith dan kaidah fiqh.

Bagi umat Islam di Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi‘i, sikap hati-hati (iḥtiyāṭ) dengan menyucikan kembali nampan sesuai syariat (7 kali air, salah satunya dengan tanah) adalah pilihan terbaik. Namun, keberadaan pendapat Hanafi dan Maliki memberi gambaran bahwa Islam tidak sempit dan ada ruang kemudahan dalam kondisi tertentu.

Dengan demikian, isu ini seharusnya tidak menimbulkan kegelisahan berlebihan, melainkan memperkaya pemahaman umat akan keluasan rahmat syariat Islam.

Allah Ta‘ala berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”

(QS. Al-Baqarah: 185)

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan olehnya. Maka bersikap luruslah, mendekatlah dan bergembiralah.”

(HR. Bukhari, No. 39).

Pesan akhirnya: Islam adalah agama yang menjaga kesucian, namun juga memberikan ruang kemudahan dan ketenangan. Perbedaan pandangan ulama adalah rahmat, agar umat tetap bisa beribadah dengan lapang dada dan tidak terjerumus pada sikap ekstrim dalam beragama.

Penulis : Dawit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *