Dumai, Riau, 6 November 2025 — Sejumlah kekalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang praperadilan menjadi cermin bahwa penetapan tersangka oleh lembaga antirasuah tidak serta-merta menjamin seseorang bersalah. Fenomena ini menjadi refleksi penting di tengah sorotan terhadap kasus dugaan suap yang menyeret Gubernur Riau, Abdul Wahid, dalam penyidikan terbaru KPK.
🔍 Deretan Kekalahan KPK di Praperadilan
Sebagaimana diberitakan oleh Tempo.co, KPK telah beberapa kali mengalami kekalahan dalam praperadilan, antara lain pada kasus Budi Gunawan, Hadi Poernomo, dan Ilham Arief Sirajuddin, di mana hakim menyatakan penetapan tersangka tidak sah karena cacat prosedur. Kekalahan-kekalahan ini menunjukkan bahwa secara hukum, mekanisme praperadilan tetap menjadi kontrol penting terhadap kewenangan penyidik KPK.
Sementara itu, CNN Indonesia melaporkan bahwa Poengky Indarti, salah satu calon pimpinan KPK, menilai kekalahan lembaga tersebut di praperadilan “memalukan dan harus menjadi bahan evaluasi serius bagi internal KPK agar tidak tergelincir pada kesalahan prosedur berulang.”
Tak hanya itu, Detik.com mencatat kekalahan KPK dalam gugatan praperadilan yang diajukan oleh Edward Omar Sharif Hiariej, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM. Dalam putusan PN Jakarta Selatan, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh KPK terhadap Edward Omar “tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” karena prosedur penetapan tidak sesuai dengan ketentuan penyidikan yang berlaku.
Kekalahan serupa juga terjadi dalam kasus PT Loco Montrado, sebagaimana dilansir Kumparan.com, di mana majelis hakim mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh pihak perusahaan dan membatalkan status tersangka terhadap pimpinan PT Loco Montrado, Siman Bahar.
Adapun menurut Merdeka.com, kekalahan-kekalahan ini memperlihatkan bahwa KPK kerap tergelincir pada persoalan formil, bukan substansi perkara, sehingga memberi peluang bagi tersangka untuk mematahkan penetapan yang dinilai tidak sah secara hukum.
⚖️ Implikasi terhadap Kasus Gubernur Riau
Berdasarkan catatan tersebut, masyarakat kini menyoroti bahwa status tersangka Abdul Wahid dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau belum tentu berakhir pada vonis pidana. Banyak pihak berpendapat bahwa Gubernur Riau masih memiliki ruang hukum untuk melakukan pembelaan melalui jalur praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Pengamat hukum dari Universitas Riau yang dikutip oleh Kompas.com menjelaskan bahwa jika ditemukan pelanggaran prosedur dalam penetapan tersangka, maka Abdul Wahid “secara hukum berhak menguji keabsahan langkah penyidik.”
💬 Suara Publik dan Dukungan Moral
Di media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, sejumlah warga Riau menyampaikan harapan agar proses hukum ini berjalan transparan dan adil. Salah satu pesan yang banyak beredar menyatakan,
“Abdul Wahid masih punya kesempatan membela diri dan selamat dari jeratan KPK. Kami masih berbaik sangka dan optimis beliau kembali ke Riau. Masih ada harapan sahabat kami bebas.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa publik belum sepenuhnya yakin akan kesalahan Gubernur Riau, dan menuntut agar proses hukum dilakukan secara profesional, tanpa tekanan opini publik yang berlebihan.
📚 Catatan Akhir
Kekalahan KPK di sejumlah praperadilan, mulai dari Edward Omar Sharif Hiariej, Siman Bahar (PT Loco Montrado), hingga kritik terbuka dari Poengky Indarti, menjadi pengingat bahwa lembaga antikorupsi harus tetap menjaga profesionalisme dan prosedur hukum.
Bagi kasus Abdul Wahid, sejarah ini menjadi pelajaran bahwa asas praduga tak bersalah harus tetap dijunjung tinggi hingga semua bukti diuji secara sah di pengadilan.
Penulis : Dawit












